Rinaldi Sinaga
Jika
engkau datang lagi ke kota kecil ini, engkau pasti akan bertemu dengannya.
Seorang penjaga stasiun kecil dikota yang juga kecil, tidak lupa dia akan
mengucapkan sebuah kalimat atau lebih layak jika kukatakan sepatah kata yang
merupakan nama kota dan sepatah kata ini mungkin akan sama saja nada, intonasi
dan pelapalannya sepanjang tahun yang berlalu.
"Medan?"
Jika
engkau menggeleng, maka dia akan menggantinya dengan kata yang lain, yang juga
nama kota.
"Sidikalang?"
Cukup
menganggukkan kepala, maka dia akan mempersilahkanmu menaiki mobil diesel tua
yang sudah layak pensiun itu.
Tidak
perlu menanyakan berapa ongkos, karena sudah menjadi kesepakatan lisan dalam
tiap kedipan dan tatapan mata tanpa suara. Duapuluh ribu rupiah. Harga mati
darisini ke Ibukota kabupaten Dairi itu, lalu engkau akan dibawa sebuah mobil
diesel tua yang muatannya mungkin sudah over tonase. Limabelas orang manusia
dewasa, seorang supir yang usianya juga diambang senja, ditambah lagi dengan
muatan serba ekstra di bagasi dan diatas diesel tua.
Mobil
tua itu memaksa muatannya karena itulah satu-satunya angkutan transportasi ke
Ibukota kabupaten, mobil tua itu nantinya akan menjerit-jerit dan meronta
sepanjang jalan berlubang dan berbatu yang dilewatinya. Jeritan mesin yang akan
melengking hingga keujung kampung tempat pemukiman penduduk yang tidak pernah
mengerti apa itu polusi, akan-anak akan segera berkerumun sepanjang jalan untuk
sekedar melihat diesel tua yang melintas. Sebuah pemandangan yang langka untuk
ukuran daerah ini.
Asap
diesel tua akan mengepul dan diantara lengkingan mesinnya sesekali akan
terdengar mesinnya juga yang sudah batuk-batuk termakan usia sebelum akhirnya
menyelinam dan menghilang diantara rerimbunan hutan hujan tropis dikaki-kaki
bukit yang masih perawan dengan sungai-sungainya yamg bening dan dingin.
Disinilah
dulu kita bertemu, di stasiun kecil di kotaku -meski sering kusadari ini tidak
layak disebut sebuah kota karena sama saja dengan desa pada umumnya-.
Saat
itu kau sedang mempelajari pola hidup dan kebudayaan masyarakat di kota
kecilku- Tigabaru-, Lalu aku, mahasiswa yang juga seorang penulis freelance
bertemu distasiun kota kecilku.
Hanya
kau dan aku?
Tidak,
ada empat belas orang lagi didalam mobil diesel tua yang akan berangkat ke
Ibukota kabupaten, ditambah barang-barang yang membuat diesel tua akan meronta
sepanjang jalan kita bersama.
Percakapan
akan kita mulai ketika lima menit perjalanan meninggalkan kota kecil, saat itu
kita sedang melintasi sebuah jembatan dan aku sedang mencuri pandang kearahmu,
karena kebetulan kau duduk disampingku, pandangan yang ternyata berbalas kata.
"Kau
mengenaliku?"
"Tentu
saja tidak.." jawabku ketus, merasa malu karena pandanganku terendus.
"Lalu
mengapa kau menatapku?"
Suaramu
tertelan bunyi diesel tua yang sedang merangkak menaiki tanjakan dengan
kemiringan enampuluh derajat, sehingga aku tidak bisa mendengar apa yang engkau
katakan. Lalu ketika tanjakan habis, mobil diesel tua bergerak tersendat-sendat
melintas jalanan berlubang di dataran
hijau yang ditumbuhi jagung. Tubuhan itu sepertinya tengah menderita, pemberian
pupuknya tidak merata. Disana-sini terlihat tumbuhan yang kecil dan tersiksa.
disisi lain ada yang tumbuh besar dan mulai berbunga.
"Kau
mendengarkan aku?"
Suarakamu
kau keraskan, mengalahkan deru mesin diesel tua, membuat semua penumpang
mendengarnya, lalu semua pandangan heran akan mengarah kepada kita.
"Tidak.."
Kali
ini aku juga masih ketus.
"Kau
tuli atau sengaja?"
Ah,
pertanyaanmu seperti interogasi polisi saja. Aku tidak suka.
"Dua-duanya.."
Kutau,
kau terperangah juga mendengar jawabanku. Tapi dalam pikiranku itu hanyalah
ucapan refleks yang terlontar begitu saja dari mulutku.
Diesel
tua itu masih tetap menderu, limabelas menit sudah kita menyusuri jalan
beraspal yang kini tinggal batu yang mencuat kesama kemari dan beradu dengan
ban diesel tua yang hampir botak.
Disetiap
persimpangan jalan yang kita lalui akan terlihat spanduk-spanduk yang
mengagung-agungkan pembangunan daerah tertinggal, spanduk-spanduk itu akan
bersaing dengan iklan-iklan rokok, berebutan mencari posisi yang enak dipandang
mata. Beberapa diantara bahkan sudah bolong atau luntur terkena cuaca karena
memang tidak ada yang memperdulikannya.
"Aku
Miante.."
Kali
ini kamu lagi yang membuka pembicaraan, kulihat wajahmu memerah memaksakan
sebuah perkenalan.
"Rinaldi,
Rinaldi Sinaga lengkapnya.."
Kembali
diam.
"Tadi
kau memandangi tanaman itu, ada yang aneh dengannya?"
Ah,
lagi-lagi kau memaksakan percakapan.
"Tidak,
tidak ada sama sekali.."
"Lalu?"
"Mencari
inspirasi.."
"Mencari
inspirasi? untuk apa mencari inspirasi? Inspirasi datang sendiri yang penting
hidup ini harus kita jalani."
Ah,
kau semakin berani.
"Aku
seorang penulis jadi butuh inspirasi.."
"Penulis?
Yang benar saja, mana ada seorang laki-laki yang suka lagi menulis selain
karena dia jatuh cinta, lelaki sekarang cocoknya menjadi pembual seperti
mereka.." Tanganmu menunjuk persimpangan yang ada sebelah depan.
Tetapi
tahukah engkau?
Aku
tidak mengamati spanduk yang ada dipersimpangan itu, aku mengamati wajahmu,
seorang gadis manis yang mungkin berusia duapuluh atau duapuluh satu tahun
-meskipun akhirnya aku tahu usiamu lebih muda dari situ, usia kita sama-.
Wajahmu cerah, menampilkan gairah hidup yang membuat hari-harimu yang penuh
semangat dan optimisme masa depan, mata yang tajam dan becahaya, rambut ikal
yang dikucir kebelakang membentuk ekor kuda dan kau merangkul tas ransel. Empatpuluh lima menit berlalu.
"Lagi-lagi
kau menatapku.."
"Eh,
maaf. Aku tidak sengaja.."
"Tidak
apa-apa kalau memang tidak sengaja, tetapi mengapa kau terus menerus
memperhatikan aku?"
"Kau
punya kemiripan dengan tokoh dalam novelku.."
"Kemiripan?
Maksutmu aku ada kesamaan dengan seorang tokoh dalam novelmu? Ah, tapi
sepertinya itu masih lebih baik daripada kau samakan aku dengan jagung-jagung
yang kekurangan pupuk tadi."
Aku
tersenyum mendengarnya, ternyata tadi kamu juga memperhatikan jagung-jagung yang
sama denganku.
Kini
kita melimtasi jembatan berair keruh kekuningan, di hulunya tampak longsor yang
luas, jalan berlubang dan becek sekitar jembatan membuat diesel tua
tersendat-sendat lagi. Tetapi ternyata didalam keadaan seperti inilah kita bisa
saling mengenal bahkan menyisakan sebuah rasa yang pantas untuk dikenang.
Satujam
tigapuluh menit berlalu.
Kita
memasuki kawasan leter S, nun jauh pemandangan dibawah membhngkai persawahan
yang menghijau dihiasi jalan lurus yang membelah kecamatan Sumbul Pegagan,
kulihat kau terpaku menatapnya, tidak ingin kehilangan sedetikpun momen
berharga.
Begitujugalah
denganku, seorang lelaki sentimentil yang menyukai lekukan bumi dan pegunungan
sebagai jiwa seorang wanita, juga sungai sebagai airmata yang mengalir dipipinya.
Dan
ternyata itulah suguhan diakhir waktu yang membuat kau dan aku saling menatap
dalam sesaknya diesel tua dengan pertanyaan yang mungkin muncul silih berganti
dalam benak kita masing-masing. Pertanyaan yang tidak akan pernah terlontar
jadi suara.
Karena
sesungguhnya saat itu raungan diesel tu sudah mulai berkurang ketika memasuki
dataran tinggi kota Sidikalang, dikanan kiri suasana mulai hiruk pikuk oleh
keramaian dan ketika diesel tua sampai diterminal yang memisahkan kita dengan
arah dan tujuan masing-masing seteleh membuat janji.
Ya,
itulah pertemuan kita pertama, sisanya kita sering bersama menghabiskan waktu
mengunjungi Taman Wisata Iman Dairi, duduk memandang lepas dari leter S sambil
menikmati aroma kopi Sidikalang, berphoto bersama diair terjun Sipiso-piso,
menyusuri hutan dan jalanan berkelok menuju Silalahi yang berada dipinggiran
danau Toba. Bahkan pernah sekali kita ke kilometer sebelas parhonasan tempat
orang pecinta nanas.
Itu
semua kita lalui sebelum akhirnya aku memperoleh beasiswa pascasarjana diluar
pulau Sumatera.
Kita
terpisah lama.
Memang
kita tidak pernah mengikat janji untuk bersama, tetapi bukankah pertemuan dan
kebersamaan kita telah menyisakan rasa? Meskipun akhirnya rasa itu tertelan
usia yang memasuki kepala tiga.
Tetapi
meskipun begitu beasiswa memihakku juga, hingga tawaran melanjutkan ke S3 telah
membungkam apa yang namanya cinta dan rasa, berkali-kali orangtua menanyakan
usia dan masa depan keluarga. Tetapi ternyata beasiswa ternyata telah
mdngantarkan aku kepada suatu saat yang aku lupa waktu dan kata untuk
menceritakannya, karena saat sebuah pagi menyambut dibulan November. Saat itu
aku baru diwisuda dan mendapatkan gelar doktor didepan namaku dengan usha yang
tergolong muda. Aku pulang kekota kecilku-Tigabaru-. Dan kau tahu? Tidak banya
yang berubah, seperti layaknya awal kita bertemu dan penjaga stasiunnya itu juga.
"Medan?"
Aku
menjawabnya dengan gelengan kepala.
"Sidikalang?"
Ya,
hari ini aku akan ke Sidikalang. Menjadi seorang motivator dan juga pembicara
dalam sebuah acara generasi muda, Aku diundang oleh ikatan mahasiswa yang
menyelenggarakan acara.
Dan
ketika diesel tua sudah ada di stasiun, hanya ada aku dan dua orang lainnya
yang menaiki diesel tua, sepasang suami istri yang katanya mengunjungi anak
serta keluarga di Ibukota kabupaten. Supirnya juga bukan lagi seorang lelaki
tua, tetapi seorang muda yang bertato ototnya.
"Sekarang
sangat sedikit orang yang naik mobil ke Sidikalang, mereka lebih nyaman naik
kereta*."
Itulah
alasannya mengapa hanya ada tiga penumpang hari ini, dan akupun melalui dua jam
perjalananku tanpa ada pertemuan dengan wanita yang memaksakan perkenalan.
Jalan
tidak lagi berbatu, dikanan kiri kopi sudah diselingh jagung-jagung hibrida
dengan segala jenis tipenya, mengalahkan varietas lokal yang ada. Kali ini
diesel tua tidak lagi meronta mengeluarkan jeritannya karena mdmang tidak ada muatan
yang memaksa.
Waktu
telah mengubah segala sesuatunya, tetapi aku tidak suka mencatat waktu karena
waktu telah memaksaku menambah usia, waktu telah menyuruhku untuk bertemu
denganmu, tokoh utama dalam cerita hidupku.
Ketika
diesel tua memasuki dataran tinggi ibukota kabupaten, dan bertemu dengan
terminal kota ,Aku segera menuju gedung tempat acara dilakukan, semua berjalan
selayaknya yang direncanakan. Namun diakhir acara seorang wanita menghampiriku,
rambut ikal dan tatapannya mengingatkan aku dalam sebuah ingatan masalaku dalam
duajam Tigabaru-Sidikalang dengan erangan mesin diesel tua.
Dengan
muka cerah dia menyalamiku sambil berkata, "Kukira kau tidak akan
datang.."
"Itu
perkiraanmu.."
"Tapi
perkiraan itu ada peluang untuk dibuktikan kebenaraannya.."
"Apa
pembuktian kebenaran itu?"
"Sebuah
novel tentang pertemuan dalam mobil diesel tua yang berakhir dengan seorang
lelaki yang tidak menemukan jodohnya diusia kepala tiga, lelaki itu tidak tahu
ternyata wanita dalam ceritanya itu juga menunggunya.."
"Menunggunya?"
"Ya,
menunggunya.."
Sebuah
masa telah berlalu, sore ini sebuah mobil bergerak dari ibukota kabupaten
menuju kota kecilku, Tigabaru. Dan peauah alunan kisah flashback mengalir
berlawanan arah jarum jam dengan sebuah kisah baru dan simponi yang baru pula.
Tentang Penulis
Rinaldi Sinaga, Lahir di Purba Sianjur 29 Juni 1994 saat ini sebagai Mahasiswa di Universitas HKBP Nommensen Medan, Blog naelstranger.blogspot.com , twitter @rinaldei
Ingin berbagi tulisan di mahasiswabatak.com ?? kirim tulisan mu pada LINK INI
mantap kali cerpenmu lae...bisa kubayangkan suasan kota kecilku.dialur cerpenmu ini...tapi tanggung lae ku..kisahnya...bagaimana si perempuan itu...dan lae...oya ..itu sebutan stasiun apa terminal laeku...setauku belom ada kreta api di sana..mauliate..ditunggu kelanjutan cerpennya..
BalasHapusMauliate lae, rencana dulu mau dikembangkan jadi Novel Lae, hanya saja buntu terus ide, ia memang lae, hanya terminal yg tidak layak dikatakan terminal karena hampir gk ada mobil disana, hehehe
HapusHoras lae Sinaga, Ayo kembangkan terus ide dan bakatmu, kalau ada kepikiran mau buat novel dan buku, kami bisa bantu nge link ke salah satu penulis seperti Bang Charles Bornar Sirait , atau Lae Bene Dion ( Standup Comedy ). Kebetulan kami sudah beberapa kali bekerjasama dengan mereka dalam beberapa event.
HapusKirim Pin BB atau Line mu ke email yang biasa lae... nanti kami bantu :)
mauliate