Bill Amirsyah Saragih. Lahir di Sindaraya, Bill SaragihSimalungun, Sumatera Utara, 1 Januari 1933. Meninggal di Jakarta, 29 Januari 2008, di usia 75 tahun.
Bill begitu dia disapa. Dia maestro bagi para pemusik Indonesia. Selain lihai memaikan musik piano, saksofon, Bill juga pintar menyanyi. Anak ke-5 dari sebelas bersaudara ini, memulai kariernya sebagai penyanyi di Hotel Indonesia, Jakarta, sejak awal tahun 1960-an bersama rekan-rekannya: Victor Tobing, Sal Salius, Poltak Hutabarat, dan Jack Lesmana. Jack Lesmana adalah ayah Indra Lesmana. Dikemudian Indra Lesmana berguru ke Bill Saragih, sahabat bapaknya, itu.
Masa hidupnya banyak dilewati di negeri orang: terutama Australia. Di Sydney, Bill mendirikan grup “Bill Saragih Trio”. Jejak penualangannya dimulai tahun 1966 Bill sambil bermain musik di Hongkong, Filipina, Thailand dan Jerman. Dia pernah tampil bersama Lionel hampton dan ikut jazz workshop di Jerman. Tahun 1972 dia menetap di Australia dan baru kembali ke Indonesia tahun 1987. Tahun 1997, albumnya, antara lain Bill Saragih, Sings ’n Plays terbitan Suryanada Indah Pratama, diluncurkan.
Menikah dengan Anna Rosemarry dan dikaruniai dua orang anak John Anthony dan Leoni Tiana. Istrinya, Anna Rosemary meninggal di usia ke-63 tahun pada 18 Januari 1999, di Sydney, Australia.
Majalah Tempo Edisi 18 Mei 1973 merekam jejak Bill saat tampil satu panggung dengan Lionel Hampton.
“Siapa yang mau main dengan saya?” tanya Lionel Hampton. Tak ada yang beringsut dari kursinya — kecuali seorang yang langsung naik panggung sambil menantang: “Saya akan ambil oper vibraphon anda”. Dia pun mainlah, sementara Lionel Hampton sesekali mengetuk piano dan selebihnya menonton permainannya.
Jelas ia tidak sebaik Hampton. Tapi keberaniannya ber jam session dalam acara konser khusus Lionel Hampton di hadapan musisi kota Bangkok, lima tahun lalu merupakan potret diri seorang yang bernama Bill Amir Saragih.
Bersaing dengan musisi Asia lain yang banyak mencari rizki di ibukota Muangthai ini. Bill tidak segan untuk pamer kelihaiannya — sekalipun berhadapan dengan raja vibraphon Lionel Hampton. Bahkan Hampton langsung mengatakan: “Anda calon raja”.
Komentar Hampton bukan tanpa alasan. Bill yang di samping vibraphon juga dapat memainkan piano, fluet dan senor saksophon, sudah punya modal musik yang lumayan. Menjelang kabur nya ke luar negeri delapan tahun yang lalu, Bill bersama saudaranya Banner Saragih dan Joe Saragih, sempat memimpin Jazz Rider nya Hotel Indonesia.
Bahkan di sana Bill turut bernyanyi. Volume suaranya, seperti kata Tim Kantoso Danumihardja: kalau lagi serius mirip kombinasi Sammy Davis Jr dan Frank Sinatra.
Sementara permainan pianonya kecipratan cara Horace Silver, seperti juga misalnya Bubby Chen. Cuma Bill, menurut Tim Kantoso yang pernah bertindak sebagai adviser Jazz Rid: “Fingering tidak selincah Bubby Chen, tapi sangat kuat dalam akord”. Bersama Marihot Hutabarat almarhum, Bill sering mengisi jazz program, yang diselenggarakan USIS pada menjelang tahun enampuluhan.
Kemampuannya bermain saksophon, bukan asal tiup saja. Konon Tim Kantosolah yang mengusulkan agar Bill memilih saksophon. “Dengan instrumen itu, dinamika suaranya bisa ber-ekspresi lebih penuh”. Menjelang petualangannya di luar negeri, “hanya satu yang belum dilakukannya, yaitu mencetak kader”, kata Tim Kantoso. Barangkali tidak seperti yang sudah dilakukan Mus Mualim atau Jack Lesmana misalnya.
Restoran berputar. Dengan modal pengalaman yang lebih banyak -sempat mengikuti Jazz Workshop di Jerman – Bill dengan isteri Inggerisnya kemudian mencoba kelihaiannya di Australia. “Kalau orang kita sih di mana saja bisa cari makan”, kata Bill dengan logat Bataknya yang cukup medok, “meski di kampung sendiri susah cari nafkah”.
Keyakinannya yang tidak kecil’ tampak nya merupakan modal yang kuat untuk bersaing di negeri Whitlam itu. Bahkan Bill berhasil merebut tempat terhormat di kehidupan malam kota dagang Sydney.
Asal mulanya, seorang bekas pemain sepakbola BBSA–sebuah klub Persija – John Chong menjumpainya di salah sebuah restoran di Bangkok. Bill ditantang untuk mengadu nasib di Australia. “Saya memberanikan diri”, kata Bill, “meski setelah tiba selama 5 bulan jadi penganggur”.
Usahanya yang keras mengantarkan dia kepada kontraknya dengan Summit Restaurant, sebuah restoran berputar di puncak Australia Square pada tingkat ke 47 — gedung pencakar langit tertinggi di Sydney.
0 Comment:
Posting Komentar