Di Tokyo terdapat sekolah khusus perempuan bernama Otsuma Women University dengan kurikulum berisi pengetahuan untuk kemudian bisa menjadi seorang ibu yang memiliki sosok ryousai kenbo. Ryousai berarti istri dan kenbo berarti ibu yang bijaksana, istilah ini kemudian ditujukan kepada perempuan Jepang yang memberikan seluruh waktu dan tenaganya untuk mengurus keluarga, baik suami maupun anak-anaknya.
Istilah ryousai kenbo mengingatkan saya pada istilah boru ni raja yang akrab ditelinga saya sejak kanak-kanak. suku Batak mengenal istilah boru ni rajayang ditujukan kepada setiap perempuan Batak. Tika Sinaga menyebutkan bahwa sebutan boru ni raja merupakan sebuah konsep “kehormatan” dan “penghormatan” untuk perempuan Batak yang dimulai sejak ia lahir, hal diatas merujuk kepada banyak aspek: kepatutan, moral, etika, sensitivitas, martabat, harga diri, kebijaksanaan, tradisi dan adat-istiadat.
Dalam dalihan natolu disebutkan bahwa sebagai orang Batak harus somba marhula-hula, manat mardongan tubu, elek marboru.Hula-hula diharapkan “memanjakan” borunya yang kemudian bisa membuat hula-hula lebih berwibawa. Hal ini bisa dilihat ketika perempuan Batak berjumpa dengan ito, walaupun pada pertemuan pertama, tak jarang mereka saling bersikap sebagai saudara kandung satu sama lain.
Tapi jangan kira dengan frasa “elek marboru” membuat perempuan Batakbenar-benar dimanja oleh ibu dan ayahnya. Menjadi perempuan Batak apalagi menjadi boru panggoaran, berarti memiliki tanggung jawab yang besar. Perempuan Batak pada umumnya ulet dalam bekerja dan telah dibiasakan sejak kecil untuk mengerjakan pekerjaan rumah. Mungkin hal ini merupakan pengaruh dari Ungkapan “anak do hamatean boru do hangoluan”yang dapat diartikan bahwa orangtua dianggap meninggal secara terhormat apabila meninggal dirumah anaknya, dan merasa bahagia apabila dirawat oleh borunya.
Gambaran lainnya tentang bagaimana orang Batak yang menghargai perempuan yang baru saja saya ketahui ketika saya mengikuti acara bona taon, adanya bagian manortoruntuk paniaran. Setelah saya cari tahu lebih dalam, ternyata paniaran adalah janda yang ditinggal meninggal oleh marga Batak. Dapat dilihat bahwa walaupun mereka sudah ditinggal pergi oleh suaminya, perempuan Batak tetap memiliki peran dalam acara adat Batak.
Batara Sangti menyebutkan bahwa salah satu ciri-ciri boru Batak sebelum modernisasi adalah boru Situmorang yang merupakan istri dari Patuan Nagari Toba yang ridak menikah dengan orang lain sampai akhir hidupnya walapun tidak memiliki keturunan. Ciri-ciri ini masih bisa ditemukan pada perempuan Batak, mereka yang sudah ditinggalkan suaminya kebanyakan tidak menikah lagi dan lebih memfokuskan diri untuk membesarkan dan menyekolahkan anak-anaknya setinggi yang mereka mampu lakukan. Hal ini dikenal dengan prinsip“anak kon hi do hamoraon di au” dikalangan orang Batak.
Menjadi perempuan Batak berarti kami memiliki peran penting, karena kami kelak akan menjadi ibu dari anak-anak kami. Sebagaimana yang dikatakan R.A. Kartini kepada Estele Zechandelaar dalam suratnya bahwa kecerdasan pikiran penduduk bumi putra tiada akan maju dengan pesatnya, apabila kaum perempuan itu ketinggalan dalam usaha tersebut. Perempuan jadi pembawa peradaban. Sebagai perempuan sepertinya sudah merupakan sebuah keharusan untuk menjadi cerdas dan terampil untuk mendidik anak-anaknya.
Tak hanya itu, perempuan Batak memiliki tugas untuk mengenalkan mengajarkan kebudayaanBatak kepada anak-anaknya. Yang menurut Edward B. Tylor kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks yang meliputi pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat-istiadat yang didapatkan seseorang sebagai anggota masyarakat. Dari pengertian ini dapat dilihat bahwa pentingnya menjaga budaya sebagai warisan sosial yang kemudian akan menghasilkan perilaku yang layak dan diterima oleh masyarakat menurut William H. Haviland.
“Gabe olo do sipata tahe da tata roha niba marnida boru ni raja na dijabu an. Laos olo ma sipata tahe da, tubu sangkap sangkap ni roha, lao mangalap boru jawa an.”
Sepotong lirik diatas diambil dari lagu berjudul berjudul Boru Hita vs. Boru Jawa yang dinyanyikan oleh Simen Star trio. Mereka menggambarkan bahwa kebanyakan perempuan Batak malas mengurus dirinya sehingga kelihatan lebih tua dari umur mereka sebenarnya.
Kebanyakan perempuan Batak yang dianggap lalai mengurus dirinya, bukan karena dengan kesengajaan. Perempuan Batakpada umumnya tidak bisa tinggal diam di rumah dan mulai mencari pekerjaan yang bisa membantu meringankan beban suaminya. istilah “hasangapon, hamoraon, hagabeon”-lah yang mungkin memiliki peran penting sebagai faktor pendukung mengapa kebanyakan perempuan Batak gigih memperjuangkan kemauannya dan tidak mau dianggap lemah atau bisa jadi faktor sistem patrineal yang kemudian semakin mendorong jiwa entrepreneurship dikalangan perempuan Batak..
Perempuan Batak identik dengan wajah segi lima, atau biasa disebut bohi na marsui-sui. Mungkin ini ada hubungannya dengan cerita Kerajaan Siantar, dimanaputri Sianggaranim sebelum sepenuhnya menjadi ular yang memohon kepada Tuhan semesta supaya anak-anak perempuan dari saudara laik-lakinya tidak memiliki kecantikan sebagaimana cantiknya dia agar tidak terjadi lagi incest seperti yang terjadi antara dia dan Partiga-tiga Sipunjung. Sekalipun ada Jamie Dornan yang menempati urutan pertama di most handsome faces 2014 menurut TC Candler, kebanyakan perempuan Batak akan lebih memprioritaskan menikah dengan laki-laki Batak, karena kami ingin melestarikan budaya Batak. Bukankah kalian juga demikian wahai para laki-laki Batak?
Foto : deviantart, CruelReDs
Foto : deviantart, CruelReDs
TENTANG PENULIS
Tioman Frischa Meriane SiahaanMahasiswi Jurusan Pendidikan Biologi, Universitas Jambi,
Ingin berbagi tulisan di mahasiswabatak.com ?? kirim tulisan mu pada LINK INI
Mantap ulasan nya ito. Boru batak adalah calon pendamping hidup yg tepat buat saya, dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Horas...
BalasHapus