Perancang Merdi Sihombing menjelaskan pustaha adalah kitab tradisional dalam masyarakat adat Batak. Dalam perwujudannya, pustaha terdiri dari lampak atau sapul dan laklak atau kulit kayu yang sering digunakan sebagai media penulisan.
Dan kitab atau naskah pustaha umumnya memakai aksara Batak dengan gambar dan ornamen. Dalam acara peluncuran bukunya, Perjalanan Tenun dan pembukaan Pameran Karya Satu Dekade Perjalanan Merdi Sihombing, pada Selasa, 12 Agustus 2014, yang berlangsung di Restoran Palalada, di Alun-alun Grand Indonesia, kawasan Sudirman, Jakarta Pusat, ia menjelaskan beberapa karya atau rancangannya terinspirasi dari pustaha Batak.
Dalam bukunya, Merdi menjelaskan tenun ulos berkaitan erat dengan segala ornamen asli Batak yang termuat di pustaha. "Terlebih ulos ditenun secara khusus untuk upacara sakral. Maka saya mengembangkan juga ragam hias ulos dari inspirasi ornamen di pustaha. Tentunya dengan melakukan modifikasi pustaha sejalan dengan perkembangan zaman," kata Merdi di sela acara peluncuran bukunya.
Merdi menyebutkan salah satu contoh naskah pustaha Batak yang kini menjadi koleksi musium Antropologi Logan, Beloit, di negara bagian Winconsin, Amerika Serikat yang dibawa dari H.H Bartlett sekitar 1918 hingga 1927 dari Sumatera Utara.
Naskah kuno ini sebuah naskah kayu berukuran 28 sentimeter kali 18 sentimeter yang jilidnya juga terbuat dari kayu berukuran 35 sentimeter kali 18 sentimeter berisikan transkrip naskah, "Ahu, pangulubalang ama ni jojo di portibi, sipatalu-talu hasuhuton na bolon. ASa da rajahon ma di gordang jangal goer ni musunta dohot porhara ni musumta. Asa da buat ma hosaya ni piniu ni hasisungsung, dongan osang-osangni asu porbulu, asu parogong ma pusuk no bosi-bosi, pusuk ni andulpak dongan pusuk ni podom-podom, asa da parago ma hasaya inon.
Merdi menjelaskan artinya adalah, "Aku hulubalang penguasa bumi, yang selalu mengalahkan musuh pada masa perang. Rayakanlah dengan gendang nama musuh kita dan pekara musuh kita. Ambilah nyawa yang diambil oleh angin puting beliung, dengan rahang anjing, hitamkanlah dengan pucuk besi, pucuk andulpak atau sejarah pohon yang arangnya dapat digunakan untuk mesiu bedil. Dengan pucuk podom-podom atau sejarah tumbuhan yang akan lenyapkan nyawa para musuh." kata Merdy menjelaskan
"Saya suka dengan pustaha ini. Da saya ingat ada beberapa perancang dunia mengangkat koleksinya dari tulisan Mesir kuno atau hirogliph. Kemudian ada mengambil dari naskah kuno China, Jepang dan sebagainya yang diprint moderen sehingga aksara tradisional tersebut disajikan dalam rancangannya," kata Merdi
Ia melakukan hal yang sama, "Dari aksara pustaha menjadi inspirasi fashion lokal yang tak kalah unik dengan negara lain," kata Merdi yang meyakini cara ini sebagai dukungan untuk ikut melestarikan kepunahan heritage Indonesia seperti naskah kuno yang tergilas dengan budaya impor dan label moderen.
Dalam rancangannya, Merdi mengesksplorasi beberapa naskah kuno pada pustaha Laklak atau kitak kuno Batak yang terbuat dari kayu, namun Merdi memperbesar skalanya lalu disablon tangan. Selanjutnya naskah ini diprint dengan teknik digital di atas tekstil berbahan katun. "Saya didukung perusahaan PT Kusuma Hadi dan PT Dalia Tex dengan hasilnya melalui rajut, bahan viscose, katun, sutra yang dibuat menjadi busana siap pakai mulai aneka dres, blus, bustier, celana dan sebagainya," kata Merdy.
Menurut Merdi, hasilnya membanggakan. "Saat mengenakan skraf atau busana dari inspirasi naskah kuno atau pustaha laklak ini jadi bagian melestarikan heritage Indonesia dan jati diri atau indentitas bangsa yang dikemas modern dan global. Saya yakin melalui aksara pustaha Batak di era fashion global ini akan tercipta Batak goes global," ujar Merdi optimis.
tempo.co
0 Comment:
Posting Komentar