Malam minggu lalu, tepatnya tanggal 26 Oktober 2013, saya dan beberapa teman menonton pementasan opera Batak di FK UKI, Jakarta. Sebagai mahasiswi rantau dari tanah Batak, saya cukup antusias karena ini pertama kalinya menonton pementasan drama Batak. Selainitu, saya juga berharap bisa bertemu dengan kawan-kawan sesama Batak.
Menurut saya inti dari pementasan itu adalah legenda asal mula Danau Toba yang dirangkai dengan pesan-pesan agar menjaga kelestarian dan kebersihan ekologi sekitar danau. Tujuannya, agar masyarakat sekitar (yang diwakili oleh perempuan-perempuan) dapat terus bertahan hidup dari sumber daya alam yang didapat dari danau.
Satu hal yang mengganggu pikiran saya sejak babak kedua yaitu “Raja-raja dohot boru ni raja (raja dan putri raja)”. Frasa ini terdapat dalam dialog-dialog dalam babak kedua. Frasa ini cukup sering diucapkan (kalau tidak salah sekitar 10 kali). Kenapa hal ini mengusik saya? Pertama, terlalu banyak pengulangan kata ‘raja’ dalam satu frasa. Akibatnya, saya fokus dengan ‘raja’ ini. Pemegang gelar ‘raja’ adalah laki-laki. Mau tidak mau, pikiran saya langsung lari ke ‘laki-laki’. Kedua, ‘raja’ dipasangkan dengan ‘putri raja’. Kenapa harus ‘putri raja’? Bukan ‘ratu’ atau cukup dengan ‘putri’ saja? Karena dipasangkan dengan ‘raja’ pikiran saya kembali fokus ke ‘laki-laki’.
Konteks ‘laki-laki’ yang saya pikirkan adalah dalam konteks sistem sosial masyarakat Batak. Laki-laki dalam sistem patriarki dan adat-istiadat suku Batak. Laki-laki selalu memegang posisi lebih tinggi dari perempuan. Bahkan sejak lahir pun perbedaan posisi ini dapat dilihat. Contohnya, ketika istri Samosir melahirkan bayi laki-laki. Narator menggambarkan kesenangan pasangan tersebut dengan membuat perbandingan, “Di Batak, kalau yang lahir anak laki-laki maka seikat kayu akan dihempaskan dengan keras sebagai tanda bahagia, tapi kalau yang lahir perempuan, reaksinya tidak sehebat itu. Hanya kayu kecil yang ditendang sembarang”. Kehadiran laki-laki dalam keluarga sangat dinantikan karena akan meneruskan marga keluarga, yang berarti kelangsunga garis keturunan. Tidak jarang ada keluarga yang memiliki banyak anak hanya karena belum mendapat anak laki-laki. Atau sang suami menikah lagi karena dari istri pertamma tidak ada anak laki-laki.
Terlepas dari posisi laki-laki dalam masyarakat yang lebih tinggi dari perempuan, dalam opera yang berjudul “Borua nadi duru ni tao” ini sebenarnya tersimpan kehebatan-kehebatan perempuan Batak yang sangat penting.
1. Perempuan dapat berubah dari ikan menjadi manusia kemudian kembali lagi menjadi ikan. Lihatlah, betapa dinamisnya wanita itu. Bisa berubah-ubah bentuk, suka-suka dia.
2. Yang maha kuasa mengirimkan seorang perempuan untuk menjaga kelestarian Danau Toba. Bukan seorang laki-laki. Apakah perempuan dianggap lebih bertanggungjawab? Bisa saja.
3. Kekuatan perempuan itu dahsyat. Bayangkan, Ibu Toba mampu menciptakan sebuah danau yang sangat luas dan indah lengkap dengan pulau kecil di tengahnya hanya karena janji yang tidak ditepati.
4. Berkaitan dengan nomor 3, kalau berjanji dengan perempuan Batak, usahakan menepati sampai akhir. Kalau tidak, Indonesia akan berubah menjadi danau-danau raksasa.
5. Ketika perempuan-perempuan diceritakan berusaha menjaga kelestarian danau, apa yang dilakukan oleh Samosir? Mengeluh, lari dari Ibu mertua dan ngobrol dengan narator.
Jadi, wahai wanita-wanita Batak, kita harus bangga. Apa yang kalian capai hingga hari ini belum seberapa. Meskipun, mungkin perempuan dalam Batak masih dianggap nomor dua tetapi sebenarnya masyarakat mengakui kehebatan kita. Hanya saja disampaikan secara tidak langsung. Kita hebat seperti Borua na di duru ni tao.
Photo : http://www.adtractive.de/operabatak/?page_id=218
Info PenulisIngin berbagi dengan mahasiswabatak.com ? Ayo kirim tulisan mu Disini
Rindang Manola Marbun
German Studies
Universitas Indonesia
0 Comment:
Posting Komentar