Danau Toba via Tele. ©T. Frischa. M.S |
Dalam
beberapa minggu terakhir, grup line saya diramaikan dengan pembicaraan mengenai
Toba Dreams. Toba Dreams sendiri merupakan film yang diadaptasi dari novel yang
berjudul sama karangan TB Silalahi. Film ini disutradarai oleh Benni Setiawan
dan diperankan oleh pasangan suami istri Vino G Bastian dan Marsha Timothy yang
menceritakan bagaimana TB Silalahi membesarkan anak, dimana dalam hal ini anak
tertuanya jatuh hati pada gadis yang memeluk agama berbeda dengannya. Film yang
banyak mengambil setting di Balige ini memberikan kebanggaan tersendiri bagi
suku Batak dan dengan penampakan panorama Danau Toba yang bisa menjadi obat
rindu bagi para perantau di daerah lain. Selain itu, melalui film, baik secara
langsung maupun tidak dapat mempromosikan Danau Toba agar lebih dikenal lebih
luas sebagai salah satu daerah wisata.Danau Toba sendiri menawarkan berbagai
macam jenis wisata kepada pengunjungnya, baik pemandangan alam, kebudayaan
lokal bahkan belakangan pemerintah berupaya menjadikan Danau toba sebagai
kawasan geopark yang diakui oleh
UNESCO.
Jika
dilihat langsung ke lapangan, apa yang terlihat keberadaan danau Toba yang
indah di Toba Dreams berbeda dengan kenyataan yang terjadi sebenarnya. Menurut
pengakuan beberapa teman di grup yang tinggal di dekat Danau Toba maupun yang
baru-baru saja berkunjung ke Danau Toba, ada begitu banyak masalah lingkungan
yang harus segera ditindak
lanjuti, misalnya kesadaran
wisatawan menjaga kebersihan Danau toba, masyarakat
sekitar danau menjadikan Danau Toba sebagai “tempat sampah”, diantaranya sebagai
tempat pembuangan kotoran hewan ternak, limbah rumah tangga, limbah perhotelan
bahkan limbah pabrik di sekitar Danau Toba,. Serta keberadaan keramba yang
semakin banyak yang merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi tingginya
populasi Eceng Gondok di Danau Toba.Keberadaan eceng gondok sendiri dapat
menyebabkan pendangkalan saat eceng gondok yang mati hanyut ke dasar danau, hal
ini kemudian dapat menyebabkan berkurangnya pasokan air bersih.
Bahkan
Pada bulan Januari lalu, masyarakat yang tinggal di ekosistem Danau Toba
melakukan aksi berjalan kaki dari Lapangan Merdeka Medan menuju gedung DPRD
sumatera Utara mendesak Joko Widodo mencabut izin 5 perusahaan yang dinilai menimbulkan
kerusakan ekosistem Danau Toba. Menurut Mongabay, 5 perusahaan itu diantaranya
adalah PT. Aqua Farm yang berada di kabupaten Toba, PT. TPL, yang sebelumnya bernama PT. Inti Indorayon di
Sosor Ladang, Porsea, Toba, PT. Gorga Duma Lestari yang memiliki izin alih
fungsi hutan di desa Partungkot Naginjang, kabupaten Samosir, dan PT.
Allegrindo di Urung Pane, kabupaten Simalungun. Keberadaan Danau Toba sendiri
atau ekosistem Danau Toba berdasarkan administrasi pemerintahan, meliputi 7
kabupaten yaitu: Tapanuli Utara, Humbang Hasudutan, Toba, Samosir, Simalungun,
Karo dan Dairi.
Apa
yang sedang terjadi di ekosistem Danau Toba sekarang ini mengingatkan saya pada
Tragedy of Commonsyang disampaikan
pada mata kuliah Ekologi Umum. Tragedy of
Commons atau tragedi kepemilikan bersama menurut Hardin merupakan
eksploitasi sumber daya alam yang dilakukan masyarakat secara bebas untuk
kepentingan individual, hal ini terjadi karena keberadaan sumber daya alam yang
bersifat milik umum dan tidak adanya aturan yang mengikat tentang pemanfaatan
sumberdaya alamyang kemudian dapat mengakibatkan kerusakan lingkungan atau
sumber daya alam itu sendiri karena tidak adanya rasa tanggung jawab untuk
menjaga dan melestarikan karena merasa bukan tugasnya.
Pengelolaan
ekosistem Danau Toba sendiri menurut Badan Koordinasi Pelestarian Ekosistem
Kawasan Danau Toba sendiri harus memegang 3 prinsip, yaitu: prinsip pemulihan
yang diharapkan mampu mempertahankan keberadaan ekosistem Danau Toba
berdasarkan pada indikator ekosistem dan diarahkan pada upaya identifikasi dan
perbaikan kerusakan yang timbul, prinsip keutuhan dan berkelanjutan yang
berupaya menjaga keutuhan komponen ekosistem Danau Toba secara terus menerus
dimana didalamnya termasuk upaya perlindungan terhadap komponen ekosistem dan
prinsip kemitraan dimana kegiatan pembangunan harus berdasarkan pada rasa
memilikim rasa tanggung jawab dan rasa takut yang kemudian diharapkan tercipta
upaya pengawasan bersama dalam menjaga kelestarian ekosistem Danau Toba.
Kerusakan
ekosistem Danau Toba mulai terlihat sekarang ini, penurunan kualitas air Danau Toba akibat keramba dan
sampah, ditambah dengan kerusakan hutan di sekitar danau. Jika hal ini terjadi
terus-menerus bukan tidak mungkin dapat mengakibatkan bencana yang bukan hanya
menimpa masyarakat di sekitar ekosistem Danau Toba tetapi juga mempengaruhi
masyarakat di daerah lain. Sebagai contoh berkurangnya debit air Danau Toba
dapat mempengaruhi ketersediaan air bersih di dunia.
Sundawati
dan Sanudin menyebutkan bahwa pemulihan ekosistem Danau Toba tidak dapat
dikerjakan oleh satu pihak saja, dibutuhkan kerjasama seluruh pihak. Pihak yang
berkepentingan seperti masyarakat, perusahaan dan pemerintah harus duduk
bersama untuk menentukan tujuan bersama dan langkah yang harus dilakukan
sebagai upaya pemulihan.
Prinsip
pembangunan berkelanjutan merupakan salah satu solusi yang dapat dilakukan
dalam menangani keadaan ini, dimana pembangunan dilakukan dengan memperhatikan
faktor lingkungan dan dampak yang dapat ditimbulkan dari pembangunan tersebut.
Sebagai contoh, perlunya ditinjau kembali dampak yang timbul dari keberadaan
pabrik di sekitar ekosistem Danau Toba, apakah mengakibatkan kerusakan jangka
pendek atau tidak bagi ekosistem Danau Toba.
Selain
itu, upaya lain yang dapat dilakukan merupakan pendekatan konservasi berbasis
komunitas dan penggunaan daya tarik moral, agama dan etika yang digunakan untuk
mendorong perilaku yang tepat terhadap lingkungan.
Gunung
Pusuk Buhit yang merupakan salah satu komponen ekosistem danau Toba merupakan
gunung sisa letusan gunung Toba Purba yang dipercayai sebagai tempat Debata
Mulajadi Nabolon menurunkan si Raja Batak dan kemudian mendirikan huta
Sianjurmulana yang menjadi awal peradaban suku Batak, yang kemudian berpindah
kedaerah lain seperti Padang Lawas, Mandailing, dan Angkola untuk membuka
perkampungan dan persawahan guna memperluas wilayah kerajaan. Hal ini lah yang
kemudian membuat Toba dianggap sebagai pusat dan pertahanan dalihan natolu yang
merupakan falsafat hidup masyarakat adat Batak yang dapat menjadi pemersatu di
tengah-tengah masyarakat.
Hilangnya
ekosistem danau yang mengakibatkan kekurangan cadangan air tanah pada suatu
wilayah tentunya akan mengancam ketersediaan air bersih bagi kehidupan manusia
di ekosistem tersebut, dengan kondisi di atas tentu manusia akan mencari tempat
baru yang memiliki ketersediaan air bersih. Kehilangan ekosistem Danau Toba
kemudian dapat menyebabkan punahnya suku dan adat Batak. Orang-orang yang
berpindah dari wilayah sekitar Danau Toba lama-kelamaan akan berinteraksi
dengan kebudayaan di tempat yang baru dan kemudian menjadi bagian dari budaya
yang baru, hal ini dapat terjadi karena tidak adanya lagi “rumah” bagi suku
Batak untuk mengingat darimana dirinya berasal dan tidak adanya lagi “rumah”
untuk pulang.
Sekian
dan ulang lupa bona, beta marsipature hutanabe!
.
TENTANG PENULIS
Tioman Frischa Meriane SiahaanMahasiswi Jurusan Pendidikan Biologi, Universitas Jambi,
Ingin berbagi tulisan di mahasiswabatak.com ?? kirim tulisan mu pada LINK INI
0 Comment:
Posting Komentar