Dalam tulisan “Perempuan Batak Memecahkan Kebisuan” saya coba menemukenali makna dari tajuk itu. Berawal dari itu pula saya terpikir mengkaji ulang bersama kita semua beberapa kata sandang bagi perempuan batak yang selama ini diberlakukan dan mungkin sudah dilupakan.
Pembuka
Ternyata masih banyak yang harus dikupas tuntas. Kaum feminis menganggap perempuan dalam berbagai budaya etnik didiskriminasi. Budaya dituding bertanggungjawab dalam hal perlakuan tidak adil terhadap perempuan.
Kemudian … jaman dari tradisional ke modern perlahan berubah. Doktrin baru muncul dengan perlakuan kepada perempuan di kelas dua. Ada kotbah mengatakan bahwa perempuan yang tunduk kepada suami adalah citra dirinya sebagai perempuan yang baik. Perempuan dikatakan harus mengabdi kepada suaminya.
Namun sepanjang penelusuran dalam kebudayaan batak, perempuan tidak pernah dianggap sebagai pelengkap hidup laki-laki. Dari mitologi Deak Parujar justru Odapodap yang melengkapi hidup Deak Parujar.
Perempuan adalah “boru ni raja” karena mereka kaum ayahandanya menjadi terangkat dalam posisi “hula-hula” dengan persyaratan perlikaku kepada mereka harus “somba” dengan pengertian harus dihormati.
Beberapa kalimat sandang bagi perempuan batak perlu kita bahas untuk mengenali kebudayaan batak itu dan sikapnya memandang status perempuan dalam rumah tangga dan masyarakat.
Boru Sorang
Dalam tulisan Bapak RB Marpaung sudah dijelaskan bahwa kata “tubu” dan “sorang” memiliki makna sama yaitu “lahir”. Bila pada laki-laki dikatakan “tubu” karena dia tetap berada pada klannya dan penerus di klannya itu. Perempuan disebut “sorang” mengartikan bahwa dia bersifat sementara berada dalam klan orang tuanya menunggu “muli” kembali kepada hakekat yang dituju “pagopas parik ni halak” memperkuat benteng kekuatan marga lain yang kemudian menjadi klannya.
Boru Nadonda
Sejak remaja perempuan batak sudah dicecoki berbagai perilaku standar yang diharapkan sebagai implementator kesopanan tingkat awal. Dia diperkenalkan tiga warna batak melalui untaian benang yang dirangkai menjadi ulos. Hati bersih dan suci dimaknai warna putih. Dia harus welas asih sebagai bekal untuk penyandang kata “parbahulbahul nabolon”. Dengan warna merah (nabara) dia dididik menjadi cerdas, fowerfull sebagai penata laksana kehidupan yang langgeng dan berkesinabungan dalam keluarganya.
Dia guru pertama kepada setiap generasi dimunculkan. Dengan warna hitam, dia dikenalkan kepemimpinan, menata sikap dan perilaku, sebagai cerminan pertama bagi generasi yang dilanjutkannya. Keteladanan dalam semua sikap. Awal dia menerima anugerah kehormatan dikala dia kelak menjadi ibu rumah tangga dan dalam klan marga suaminya menjadi “paniaran”.
Walau tidak semua perempuan pelaku pembuatan ulos, namun pengenalan makna “mangunggas” mencerahkan dan merubah kekusaman menjadi kilauan, “mangani” menata untaian panjang sedang kombinasi warna, “martonun” memadukan untaian warna warni menjadi satu kesatuan, “manirat” memagari semua untaian yang sudah disatukan itu untuk tidak bercerai berai, sudah diperkenalkan.
Pangahit
Lihatlah, tortor perempuan itu kelihatan monoton dan kurang berkembang. Tapi harus diingat, tortor itu memiliki pakem yang kuat dan menjadi pengamatan penting mengenali perempuan dengan segala sikap dasarnya melalui tortor itu.
Badan tegak dan lurus, “mangurdot” tanpa goyangan kesamping, bagaikan alu menumbuk padi dalam lesung. Bila ada hentakan miring maka resiko padi akan terburai keluar.
Tangan menyembah dan mengait kearah tubuh. Menghormati semua pihak, menghormati penciptanya dengan harapan mendapat berkah atau manfaat pada dirinya.
Tangan dibuka datar diatas pundak. Seandainya ada benda diatas tangan itu tidak akan jatuh. Dia memikul segala tugas dan perannya tanpa goyah, sepenuh hati.
Tangan melayang dari samping menuju perut. Telapak tangan ditekuk, persis seperti mengumpulkan padi dalam jemuran atau mengais/mengumpul beras diatas tampi. Ini disebut “mangahit”. Segala kegiatan yang mendapatkan buah semuanya diarahkan kepada dirinya dan menjadi bekal dalam kehidupan yang disebut “paiogon” yang dikumpulkan dalam “bahul-bahul” bekal kehidupan sepanjang tahun.
Boru Oroan
Disebutkan kepada perempuan yang sudah memiliki jodoh atau tunangan. Jaman dulu oroan bisa saja sejak kecil. Syaratnya mereka saling kenal dan dapat bermain bersama. Oroan dalam status ini boleh saja berubah setelah dewasa dan menolak perjodohan ini. Kedua belah pihak tidak ada saling tuntut dan permusuhan karenanya.
Bila berlanjut, tahap kedua orang tua masing-masing membuat adat pemberian “tarintin” tanda pertunangan oleh orang tua laki-laki kepada orang tua perempuan dan kepada perempuan itu sendiri.
Pada kondisi ini, perempuan sudah “marmeang muli” mekar ibarat bunga harum dan memancing kumbang untuk hadir.
Boru oroan dikenal dengan mengalihkan untaian rambutnya yang panjang ke dada dari pundak sebelah kanan.
Boru oroan pantang digoda lagi, dan sanksinya adalah hukum adat. Pendekatan pergaulan kepada boru oroan adalah mendukung kekuatan “pagar” dirinya, untuk setia dan gambaran kesiapan menuju rumah tangga yang kekal.
Berbeda pada kondisi saat ini. Pada umumnya laki-laki menggoda perempuan siapa saja yang menarik bagi dirinya. Mereka sering melontarkan kata-kata yang tidak ber-etika adat batak; “yang sudah menikah pun bisa cerai, apalagi hanya tunangan”
Inong, Inang, Ina, ina-ina, inang-inang
Inong, biasanya sebutan atau panggilan kepada ibu yang melahirkan. Induk dari keberadaan manusia yang dilahirkan. Yang terdekat dengan diri sendiri. Yang tidak bisa terputus dari batin karena tubuh pernah bersatu. Bila dalam batin ada kemelut tak terpecahkan maka yang terkenang pertama adalah Inong. Tempat bertanya, mengadu adalah inong. Bila dia jauh, maka yang mampu dilakukan hanya “mang-inong-i”.
Inang. Ada yang mengartikan sama dengan inong, namun sebenarnya ada perbedaan. Sebutan inang lebih umum. Bisa disebutkan kepada semua orang sebagai penghormatan awal. Bila kemudian orang itu diketahui sebagai “boru” maka sebutan awal itu tidak salah. Kepada “bao”, mertua sebutan ini sesuai. Kepada anak perempuan kandung juga sering digunakan.
Ina, adalah sebutan untuk perempuan berumah tangga secara umum. Cenderung untuk membedakan penempatan antara laki-laki dan perempuan.
Secara khusus diartikan ina, adalah perempuan yang bertanggungjawab sesuai dengan harkatnya sebagai ibu rumah tangga.
Ina-Ina, sebenarnya sebutan yang kurang sopan. Ini sekaitan dengan sikap perempuan yang tidak memiliki sikap perilaku sebagai Ina. Dari penyebutan itu dapat diartikan makna jamak. Tidak menyebutkan status kehormatan diantara perempuan yang lebih dari satu orang itu.
Inang-Inang, adalah sebutan kepada perempuan yang tercela. Perempuan yang berperilaku buruk dan tersesat biasanya disebut inang-inang.
Diparinang-inang, adalah sebutan kepada perempuan yang melakukan hubungan dengan laki-laki secara tidak sah, hubungan gelap yang ketahuan.
Inang-inangna, dikatakan kepada perempuan yang mau dan rela diperlakukan sebagai isteri gelap dari seorang laki-laki.
Mulanya para perempuan yang ulet memperjuangkan keluarganya melakukan pekerjaan seperti berdagang di tempat terlarang, sehingga mereka disebut inang-inang. Sebutan ini semakin popular saat ini, bahkan masyarakat batak sendiri sudah mengucapkannya. Dan para perempuan itu tidak melakukan protes lagi dijuluki inang-inang. Sebenarnya ini harus ditolak.
Inang namora boru.
Sebutan kehormatan kepada kaum perempuan yang sudah berumah tangga. Sering didengar dalam acara adat ketika sesorang “marhuhuasi” memulai “hata”. Sebutan ini berlaku umum untuk semua kalangan partuturon.
Untuk kalangan khusus seperti “parumaen” menantu dan boru disebut Inang namora i.
Ina Batak Mardingding.
Kata ini disandang perempuan karena kebijaksanaannya menerapkan batas informasi domestik ke publik. Apapun polemik dalam rumah tangga tidak akan dibawa keluar. Dia mencegah keutuhan seisi rumah menjadi pergunjingan publik.
Ina Batak Marparapara.
Bara, kolong rumah adalah tempat penyimpanan barang/alat kerja seharihari. Jabu, tempat tinggal dan dan barang kebutuhan makan sandang sehari-hari.
Parapara, tempat barang yang jarang digunakan.
Seorang perempuan yang bijak selalu memiliki simpanan/cadangan yang kurang diketahui suami dan seisi rumah. Tindakan ini jauh dari kategori ketidakjujuran.
Bila suatu ketika ada kemelut ekonomi keluarga, perempuan sering memberi solusi dengan apa yang dicadangkannya secara bijaksana. “Siantan sidabuan siboto buhu ni partaonan”. Mampu mengatur bekal hidupnya hingga tidak menuai masalah bekal dalam (minimal) setahun berjalan.
Parbahulbahul Nabolon.
Diperankan perempuan bukan hanya perumpamaan hati yang lapang saja. Dalam tradisi batak, bahul-bahul ada dalam kekuasaan perempuan. Bila seorang suami membongkar padi dari bahulbahul tanpa sepengetahuan istri, maka akan tercela dia.
Keputusan jadi atau tidak dilakukan hajatan yang menggunakan dana, keputusannya ada ditangan isteri. Bila isteri menghindar dalam arti tidak setuju, ada beberpapa hal yang harus diamati.
Pertama, cadangan menyempit, sumber pendukung yang segera dapat diperoleh belum jelas. Kedua, hajatan itu terlalu besar bentuknya dan membutuhkan penyederhanaan.
Soripada.
Ada falsafah batak mengatakan, “raja pe ama pinaraja ni ina” Sang suami terhormat atas peran perempuan. Peran perempuan sangat besar memberikan dorongan kepada suami agar terhormat dihadapan publik. Berdasarkan itu pula perempuan disebut soripada. Perempuan yang mengekang peran suami di masyarakat akan memenggal kemampuannya berperan di tengah masyarakat.
Tidak ada Raja tanpa Soripada dan sebaliknya.
Perempuan yang menunjukkan perannya sebagai pengasuh, pengayom, pembaharu dalam kehidupan, mampu menimbang dalam permasalahan, inilah yang kemudian yang berhak “martali-tali bonang”. Dia juga disebut “soripada mulia”.
Pardihuta
Perempuan “isteri” adalah pemilik hak terhadap harta benda yang ada di kampungnya. Dalam hal keputusan penjualan padi dari lumbung “bahul-bahul”, ternak kecil yang hidup dan besar di seputar pemukiman “huta” adalah keputusannya. Bedanya adalah dalam hal ternak yang besar di ladang “adaran”. Penjualan kerbau lembu dan kuda harus ada persetujuan dari suami. Ini karena suami memiliki peran “parmahan” gembala ternak itu.
Pardijabu
Dia memiliki hak seisi rumah. Suami hanya memiliki hak pertimbangan. Penata hidup dalam rumah adalah wewenang perempuan. Suami ada dalam peran “pangaramoti” mengamankan seisi rumah dalam arti fisik dan material. Seorang suami yang mengambil padi dari bahulbahul (lumbung) tanpa sepengetahuan isteri maka dia akan tercela setingkat pencuri. Beda bila itu dilakukan isteri tanpa sepengetahuan suami, karena itu haknya sebagai ina dan pardijabu.
Puang Bolon
Isteri mahkota, biasanya sebutan ini ada bila ada isteri lebih dari satu orang. Isteri pertama yang sah dalam hukum adat. Dia yang berhak duduk di jabu bona. Dia yang memberi kesempatan menikah kedua bagi suaminya dalam alasan tertentu. Dia akan menghitung jumlah anak-anaknya dengan yang dilahirkan isteri kedua suaminya.
Tuan Laen
Imbang, “isteri kedua” yang direstui isteri pertama “puang bolon” dan sah dalam hukum adat. Dia memiliki hak yang sama dengan puang bolon. Nama anak yang dilahirkan tuan laen berhak disandang puang bolon bila belum melahirkan anak. Dia mendapatkan “jambar tataring” seperti puang bolon. Urutan anak yang dilahirkan sesuai dengan kelahirannya karena harus mengikuti silsilah ayahnya, bukan berdasarkan siapa ibunya.
Jolma
Semua anak yang dilahirkannya (jolma) akan mengikuti marga suaminya. Dalam berbagai daerah di tanah batak ada sebutan kepada isteri itu “jolmana”. Sebutan ini tidak popular karena tidak menyandang arti kehormatan bagi perempuan. Ada yang menyebutkan bahwa sebutan ini adalah biasa-biasa saja, dan sebagian mengatakan adalah sebutan kurang terhormat.
Jolmana, tidak sepadan dengan pengertian soripada. Ada yang mengartikan sebutan itu kepada isteri yang belum disahkan dalam adat, seperti “na so pangahua” dan “rading” tapi sudah dianggap isteri yang sah dan diijinkan di dalam kampung.
Di Samosir sebutan jolmana kepada isteri seseorang masih melekat. Sepertinya tidak ada lagi sanggahan atas sebutan itu. Semakin lama sebutan ini menjadi kebiasaan tanpa mempersoalkan mengandung rasa hormat atau tidak. Dualisme pemahaman tentang sebutan jolmana kepada isteri seseorang perlu pembahasan yang lebih mendalam.
Na so pangahua.
Isteri yang tidak memiliki kekuatan hukum adat. Lajim disebutkan bagi isteri yang muncul sendiri tanpa ada proses yang layak di dalam hukum adat perkawinan. Isteri yang dinikahi karena “kecelakaan moral”, melakukan hubungan terselubung yang minta pertanggungjawaban kepada lelaki untuk diperisteri. Sering terjadi si perempuan menjadi isteri kedua dan tidak diijinkan memasuki kampung. Dia diasingkan di tempat lain. Dia tidak memiliki hak yang sama dengan isteri pertama suaminya.
Rading
Seorang perempuan yang berperan sebagai pembantu dalam rumah tangga bila diperistri induk semangnya dinamakan rading. Semua yang dilahirkan dari rading tidak punya hak waris dari harta atau kedudukan, dengan pengertian tidak dapat diangkat meneruskan peran dari ayahnya. Namun bila puang bolon dan tuan laen memberi restu, anak rading dapat terangkat statusnya dan memiliki hak pewarisan dari ayahnya. Bila puang bolon atau tuan laen tidak memiliki anak laki-laki, mereka dapat mengangkat anak radingnya seperti anak sendiri. Mereka mengadakan tonggo bius dan harus menjamu seluruh raja huta dan raja horja serta memotong ternak yang biasa digunakan untuk “adat tompas bongbong” mengukuhkan status rading dan anaknya dalam keluarga itu.
Penutup
Secara umum, penghormatan dan penghargaan harkat perempuan itu sudah menjadi bagian kebudayaan batak. Adapun penyebutan ketidaknyamanan kepada perempuan adalah berdasarkan sikap dan perilakuknya sendiri.
Tidak dipungkiri, sebagian anak dari isteri yang dianggap tidak kuat dalam adat akan mengalami nasib buruk dalam status kemasyarakatan. Walau hal ini jarang terjadi, tetap juga kita ungkapkan sebagai fakta yang pernah terjadi.
Bila kita menyaksikan para pria dalam acara adat “marhata” apakah itu gambaran diskriminasi perempuan? Harus diingat, demokrasi adalah bagaimana keputusan dilakukan. Jelas, perempuan simpul terakhir dalam pembuatan keputusan. Bila marhata dilakukan pria, itu bukan pengambilan keputusan, tapi penghormatan dalam struktur adat. Keputusan awal ada dalam rumah tangga, disana peran perempuan tidak boleh diabaikan dan ini merupakan inti. Upacara adat hanya proses legislasinya.
Bila saya (laki-laki) memberikan persembahan (penghormatan, ada yang dengan bentuk jambar dari daging kepada hulahula (termasuk mertua) adalah lebih baik dibanding bila dilakukan isteri.
Di kalangan batak, lebih terhormat seorang suami bila dikatakan “dirajai ina” dibawah ketiak isteri daripada seorang suami yang tidak memberi wewenang kepada isteri mengelola harta dan kehidupan seharihari. Sebab Ina dalam status terhormatnya tidak akan menghancurkan keluarga itu. Biasanya dilakukan kepada suami yang tidak mampu mengatur ekonomi dan boros.
Seorang suami yang terpaksa melakukan penataan keuangan keluarga dan tidak memberikan wewenang kepada isteri ada juga karena isteri “martangan pudi” Melakukan pengeluaran untuk menyantuni pihak orang tuanya tanpa sepengetahuan suami. Ini jauh dari kriteria seorang ina.
Dalam proses terjadinya satu perkawinan, jelas akan dibahas bagaimana perempuan itu diperlakukan saat akan menjadi bagian dari keluarga suaminya. Hal ini akan kita bahas dalam topik lain ; Sinamot Ni Boru.
Terimakasih kasih kepada bapak RB Marpaung dan bapak Bonar Siahaan yang membantu pembuatan tulisan ini.
0 Comment:
Posting Komentar