“Perbuatlah apa yang bisa kau perbuat dalam
hujan, tetapi aku mohon engkau jangan membenci hujan Liana. Hujan itu tidak
seperti matahari dan hujan itu berbeda jauh dengan matahari.”
Kalimat
itu terus teulang dalam pikirannya, dia tidak tahu apakah kata itu hanya
pengibaratan ataukah dalam makna yang sesungguhnya, dia sudah berkali-kali
membaca cerita tentang, dia juga sudah berkali-kali bermain hujan sejak kecil
bahkan dari kecil dia sudah menyukai hujan. Baginya hujan adalah sebuah
keindahan dimana dia bisa bermain dengan teman-temannya sepulang sekolah dulu,
hujan juga adalah sebuah momen yang mengingatkannya kepada cinta monyetnya di
bangku SMA, lalu bagaimana dia bisa membenci hujan?
Liana
terus memandangi hujan itu dari jendela kamar hotelnya, dia kembali mengingat
lelaki itu. Lelaki yang menyelamatkannya ketika sepeda motornya tergelincir di
tikungan tajam dan menurun menuju danau Toba, saat itu hujan mengguyur dan dia
tidak membawa mantel untuk melindunginya. Liana ingat kejadian itu adalah saat
dia baru kehilangan kekasihnya yang harus menikah dengan paribannya, kata
kekasihnya itu adalah adat. Liana terpukul mendengarnya karena sesungguhnya dia
terlalu berharap akan kisah-kisah indah dengan kekasihnya itu, sejak itu dia
sering berpetualang sendiri, mencari kedamaian pikiran ucapnya kepada setiap
orang yang menanyakan.
“Kenapa
engkau berkendara saat hujan, Liana? Setidaknya engkau harus menunggu hujan
reda lalu kembali melanjutkan perjalananmu. Apakah engkau menyukai hujan, lalu
kau ingin mencari mati dengan hujan itu? Itu berbahaya Liana, tikungan tajam
dan jurang dikanan kiri, tidak takutkah gadis secantik engkau mati?” Itu adalah
pertanyaan lelaki itu setelah mereka duduk disebuah warung ditepi danau Toba.
Hujan
terus datang membasahi danau yang sebenarnya juga sudah basah, Liana berpikir
bahwa mungkin dibawah sana, dibawah permukaan air danau itu ikan-ikan berteriak
senang sambil bergerak kesana-kemari menikmati guyuran hujan.
Dia
kembali ingat apa tujuannya datang kemari, untuk bertemu lelaki itu. Parsaulian
Simangunsong, lelaki yang menolongnya ketika tergelincir saat ditikungan tajam
dulu, lalu sejenak lelaki itu hadir dalam kehidupan kotanya yang sibuk dan
kaku.
“Pernahkah
kau pikirkan bahwa kita akan bertemu?” Katanya waktu itu dengan logat bataknya
yang sampai hari ini bisa diingat Liana dengan jelas.
Parsaulian
Simangunsong, pernah nama itu dibacanya sebagai salah satu nama penggerak
mahasiswa disebuah Pergerakan mahasiswa yang terkenal pecinta lingkungan.
Tetapi Liana tidak pernah berperasangka apapun kepadanya, dia tahu bahwa
didunia ini ada puluhan nama yang sama dan nama itu adalah salah satunya.
“Sudah
pernah sebelumnya dari danau Toba?”
Liana
menggeleng, dia tidak pernah membayangkan bahwa suatu hari dia akan sampai di
danau terluas di Indonesia ini. Yang ada didalam pikirannya adalah bagaimana
dia bisa meninggalkan aktivitas kotanya yang kaku, melupakan kebiasaan
Orangtuanya yang selalu berdebat hanya karena hal-hal sepele dan baginya tidak
penting dan yang paling utama tentu melupakan kekasihnya yang harus menikah
dengan paribannya.
“Terkadang
kita memang harus melepaskan apa yang bukan milik kita, dan yang paling berat
adalah melepaskan apa yang bukan milik kita tetapi kita merasa bahwa itu milik
kita. Nah, disinilah kita dituntut untuk
jeli memahami mana yang menjadi sebenarnya bisa menjadi milik kita dan mana
yang tidak bisa milik kita, karena tidak kejelian mengerti inilah makanya
banyak orang yang memaksakan kehendak.”
“Lalu
apa hubungannya dengan yang kuceritakan tadi?”
“Begini,
bagaimana engkau bisa menyatakan bahwa hujan yang jatuh dihalaman rumahmu
adalah milikmu kalau hujan itu ternyata mengalir kehalaman orang lain?”
Liana
tersenyum menatapnya, dalam hatinya dia mengaguminya tapi sekaligus dia mengoceh
karena menurutnya kata-katanya kurang sesuai dengan ceritanya.
“Ada
yang janggal Liana, mengapa engkau menatapku dengan tersenyum seperti itu?”
“Kalimatmu
bagus, tetapi sayang kurang sesuai dengan kondisi hatiku.”
“Oya?
Bagimana yang sesuai dengan kondisi hatimu nona, mungkin akan kupenuhi karena
anda masih pertama kali ke tempat ini, bagi orang yang pertama kesini kami beri
layanan memuaskan untuk keliling danau Toba.” Katanya sambil tertawa.
Inilah
kelemahan Parsaulian, jika lelaki itu diajak berbicara serius, dia akan menanggapinya
dengan bercanda.
Dan
ketika itulah Liana mengenal siapa sebenarnya lelaki itu, dia adalah seorang
mahasiswa pecinta lingkungan. Lelaki yang tidak segan-segan mengumpulkan sampah
yang berserakan sepanjang pantai danau yang mereka lalui dan Liana tahu bahwa
sebenarnya sangat jarang ada lelaki seperti itu atau mungkin itu dilakukannya
karena saat itu dia sedang bersama gadis cantik seperti Liana hanya untuk
sekedar menarik perhatian gadis itu saja. Dan yang paling mengenang dalam
ingatannya adalah saat mereka menuju sebuah proyek pembangunan raksasa di pinggir
danau sehingga terjadi pengundulan hutan dan perataan tanah diwilayah itu.
“Hutan
yang digundul tidak sedikit Liana, 800 hektar katanya untuk pembangunan dan
juga pengembangan proyek wisata berkonsep modern dipinggir danau danau Toba.”
“Bukankah
itu ide yang bagus?”
“Bagus
katamu? Penggundulan itu akan mengakibatkan pengurangan resapan air sekitar 30
persen untuk danau ini, bisakah kau bayangkan apa yang terjadi jika pasokan air
di danau ini berkurang tiga puluh persen?” Nada suara Parulian saat itu
emosional dan parau. Liana hanya diam memandanginya, dan saat itulah hujan
turun, hujan yan mengingatkan Liana kepada suatu waktu yang seharusnya tidak
ada dan jika Liana mengingat waktu itu dia tidak ingin mengenal danau Toba dan
dia juga tidak ingin mengenal Parsaulian.
Lelaki
itu memang gagah, tegas dan juga seorang aktivis lingkungan. Liana tahu hal itu
ketika suatu hari melihat gambar Parsaulian di sebuah media massa sedang menerima
sebuah penghargaan atas keberhasilannya melestarikan lingkungan.
“Kita
tinggal dilingkungan dan hidup kita tergantung lingkungan, jadi jika bukan kita
yang memeliharanya siapa lagi, jika bukan sekarang kita menyelamatkannya kapan
lagi?” Kata Parsaulian kepadanya saat dia sedang memunguti sampah dipiggiran
danau itu.
“Parsaulian..”
Liana memanggil.
Parsaulian
menatapnya, mata lelaki itu bening sebening air hujan yang mempertemukan mereka
dulu, mata mereka bertemu. Liana mencoba menyelami makna yang terkandung
tatapan itu, menyelaminya tidak sesulit menyelami dasar danau Toba karena Liana
adalah seorang mahasiswi Fakultas Psikologi, karena itulah dia tahu bahwa
didalam tatapan Parsauliaan ada kejernihan sejernih air danau yang dicintainya
itu.
“Aku
tahu engkau tidak ingin permukaan danau ini semakin surut bukan? Tetapi engkau
harus tahu bahwa untuk mengembangkan potensi danau ini penggundulan itu
diperlukan.”
“Lebih
baik tidak dikembangkan dari pada harus dikeringkan..”
“Kupikir
selama ini aku bersama seorang lelaki yang menyukai perubahan, tetapi ternyata
aku sedang bersama yang takut akan perubahan. Kupikir selama ini aku bertemu
filsuf yang menyukai penciptaan keindahan, ternyata aku hanya bertemu seorang
yang mencintai keindahan alami yang kaku”.
“Keindahan
yang alami itu lebih bagus Liana”
“Tetapi
lebih bagus jika dipadu dengan keindahan modern yang sudah terstruktur dengan
arsitek-arsitek hebat yang akan membangun keindahan dipinggir danau Toba.”
Parsauliaan
diam dan itulah percakapan terakhir mereka saat hujan terakhir juga mereka
bersama menikmati kopi panas disebuah warung dipinggir danau, saat itu
Parsaulian diam sambil memandangi tetesan hujan. Liana juga memilih diam karena
dalam hatinya dia menyesal beradu argumen dengan lelaki itu, argumen yang
menyebabkan lelaki itu diam dan karena itulah Liana tidak ingin mengenang momen
beradu argumen itu, menurutnya argumen yan diberikannya itu telah melukai hati
Parsaulian yang adalah hati murni yang mencintai Lingkungan.
***
Ternyata
itu hanya kenangan saja karena saat ini hujan masih terus datang dan Liana
masih tetap menatapi danau itu dari kamar hotelnya, sebuah hotel yang dibangun
lima tahun yang lalu. Tepat saat dia pernah mengenal Parsaulian saat itu, dan
tentu hari ini dia datang ketempat itu hanya untuk bertemu lelaki itu.
Baginya
bertemu lelaki itu tidak hanya sebagai rindu yang menyesak didalam hatinya
tetapi juga ingin mendengar lelaki itu berfilsafat lagi, mengulang percakapan
sambil minum kopi saat musim hujan dipinggir danau Ah, Liana kembali teringat
saat mereka beradu argumen itu.
Sore
itu Liana memilih untuk berjalan-jalan keliling hotel itu, melihat sampah yang
berserakan disana kembali dia teringat kepada lelaki itu, dimanakah dia saat
ini? Sepertinya danau ini telah kehilangan seorang lelaki yang begitu
mencintainya, Liana membayangkan saat Parsaulian memunguti sampah-sampah itu
lalu mengumpulkannya kesebuah tong sampah yang dia sediakan sendiri setiap
jarak seratus meter sepanjang pantai danau itu, tetapi kini tong-tong sampah
itu sudah tidak ada lagi, tempat itu kini berganti menjadi taman hotel yang
dihiasi bunga dan lampu bercahaya temaram dimalam hari.
Liana
terus melangkah semakin jauh meninggalkan hotel, mencari jejak kenangan yang
pernah dia lalui bersama lelaki itu dan sebuah harapan terbersit dalam
pikirannya semoga lelaki itu belum menikah, semoga, semoga dan semoga dia
segera menemukannya.
Semakin
jauh Liana berjalan meninggalkan hotel itu, cuaca juga semakin mendung dan awan
hitam mulai menutupi pegunungan yang mengelilingi
danau Toba. Liana tahu bahwa sebentar lagi hujan akan datang, tetapi dia telah
memutuskan untuk terlebih dahulu menemukan apa yang dicarinya sebelum kembali
kehotel tempatnya menginap. Dia terus berjalan saat gerimis mulai turun semakin
lama semakin deras, Liana baru ingat bahwa dia lupa membawa payung yang
biasanya ditaruhnya di tas jika bepergian, dia berlari untuk segera mencari
tempat berteduh dan menemukan sebuah pondok yang beralaskan keramik. Dia
berteduh sambil mengamati sekelilingnya dan terpaku saat melihat sebuah tulisan
disebuah salib di tengah pondok itu Parsaulian Simagunsong , lahir 29 Juni 1980
meninggal10 februari 2003, Astaga Liana telah menemukan lelaki itu.
Liana
kembali kehotelnya dengan terburu-buru dan saat itulah dia bertabrakan dengan
seorang lelaki yang sedang membawa tumpukan buku dan beberapa koran yang
membuatnya berserakan dan mata Liana terpaku kepada sebuah koran yang berjudul
“Demonstrasi Mahasiswa Menolak Perambahan
Hutan Untuk Pengembangan Potensi Wisata : Dua orang Tewas” seketika itu
Liana merasa semua tulang-tulangnya merapuh dan diluar hotel hujan masih terus
turun mengguyur keinginannya untuk bertemu Lelaki itu.
Tentang Penulis :Rinaldi Sinaga , Lahir di Purba Sianjur 29 Juni 1994 |Mahasiswa Akuntansi Universitas Nommensen
Ingin berbagi tulisan di mahasiswabatak.com ?? kirim tulisan mu pada LINK INI
foto credit to : Riyanthi Sianturi
0 Comment:
Posting Komentar